Jumat, 11 April 2014

DASAR, TUJUAN DAN MANFAAT PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

1)      Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi manusia untuk menghadapi kelangsungan hidupnya hingga masa depan. Pendidikan dituntut untuk dapat mengantarkan manusia pada kehidupan yang sesungguhnya. Pendidikan yang dikenal dewasa ini tidak hanya mencakup secara umum tetapi juga spesifik kepada pendidikan islam. Dimana pendidikan islam dituntut untuk dapat mencetak generasi-generasi penerus yang handal baik dalam ilmu pendidikan umum maupun agama.
Sebelum kita membahas tentang pendidikan secara spesifik tentulah kita harus mengetahui apa itu yang dinamakan pendidikan islam, dasar, tujuan serta manfaat dari pendidikan islam dalam ranah pendidikan yang berkembang sekarang ini.
2)      Rumusan Masalah
A.    Apa Pengertian pendidikan islam?
B.     Apa dasar pendidikan islam?
C.     Apa tujuan pendidikan islam?
D.    Apa manfaat pendidikan islam?

3)      Tujuan Pembahasan
A.    Mengetahui Pengertian pendidikan islam
B.     Mengetahui dasar pendidikan islam
C.     Mengetahui tujuan pendidikan islam
D.    Mengetahui manfaat pendidikan islam
BAB II
PEMBAHASAN

1)      Pengertian Pendidikan Islam
Memahami pendidikan Islam tidak semudah mengurai kata “Islam” dari kata ”Pendidikan” karena selain menjadi predikat, Islam juga merupakan satu subtansi dan subjek penting yang cukup kompleks. Karenanya untuk memahami Pendidikan Islam berarti kita harus melihat aspek utama missi agama Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari sisi pedagogis. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia sehingga menjadi manusia sempurna. Islam sebagai agama unirversal telah memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan bahagia, yang pencapaiannya bergantung pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci penting untuk membuka jalan kehidupan manusia. Denagn demikian, Islam sangat berhubungan erat dengan pendidikan. Hubungan antara keduanya bersifat organis-fungsional; pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam menjadi kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam.[1]
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna islam, pendidikan yang islami, yaitu pendidikan yang yang berdasarkan islam.
Konfrensi Internasional Pendidikan Islam Pertama (First World Conference on Muslim education) yang diselenggarakan oleh Universitas King Abdul Aziz, Jeddah pada tahun 1977, belum berhasil membuat rumusan yang jelas tentang definisi pendidikan menurut islam. Dalam bagian “Rekomendasi” Konfrensi tersebut para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian pendidikan menurut islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.
Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Dari kata addaba ini diturunkan juga kata addabun. Menurut al-Attas, addabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkatan mereka dan dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan pengertian addaba seperti itu, Al-Attas mendefinisikan pendidikan pendidikan (menurut islam) sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehinga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut.
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi yaitu pertama, menjaga dan memlihara fitrah anak menjelang dewasa(baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnan; keempat, dilaksanakan secara bertahap. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran islam.
Menurut Abdul Fatah Jalal, proses ta’lim justru lebih universal dibandingkan proses al-tarbiyah. Jalal menjelaskan bahwa ta’lim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriyah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Ta’lim mencakup pula pengetahuan teoritis, mengulang kaji secara lisan, dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta’lim mencakp pula aspek-aspek pengetahuan lainya serta ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta pedoman berperilaku. Jadi, berdasarkan analisis itu Abdul fattah jalal menyimpulkan bahwa menurut al-Qur’an ta’lim lebih luas serta lebih dalam dari pada tarbiyah.[2]

2)      Dasar Pendidikan Islam
Orang islam mengambil Kitab Suci Al-Qur’an sebagai dasar kehidupannya, untuk dijadikan sumber dalam ajaran islam. Inilah pula yang dijadikan dasar bagi ilmu pendidikan islam. Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya ternyata memberikan jaminan juga kepada hadits Nabi Muhammad saw, ada perintah Tuhan yang mengatakan bahwa manusia beriman wajib mnegikuti Allah dan rasul-Nya. Rasul-Nya yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw. Perintah inilah (secara etimologis, jaminan inilah) yang dijadikan dasar oleh orang islam untuk mengunakan hadits nabi sebagai dasar kedua dalam kehidupan.
Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW juga menunjukan bahwa akal dapat juga digunakan dalm membuat aturan hidup bagi orang islam, yaitu bila Al-Qur’an dan hadits tidak menjelaskan aturan itu, dan aturan yang dibuat oleh akal tidak boleh bertentangan dengan jiwa Al-Qur’an dan Hadits bahkan penggunaan akal itu disuruh bukan saj diizinkan dalam Al-Quan dan hadits . penunjukkan ini merupakan legalitas dan jaminan untuk menggunakan akal dalam mengatur hidup orang islam. Kalau demikian maka secara operasional aturan Islam dibuat berdasarkan tiga sumber utama, yaitu Al-Qur’an, Hadits dan akal.[3]
Jadi sudah jelas sesuai penjelasan diatas bahwasannya dasar pndidikan islam adalah:
a)                  Al-Qur’an
b)                  Hadits Nabi Muhammad SAW
c)                  Akal

3)       Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita bicara tentang tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat.[4] Tujuan pendidikan islam adalah ubudiyah (beribadat) memberhambakan diri pada Allah. Pendapat ini beralasan kepada firman Allah, artinya: “tidaklah mereka disuruh, melainkan supaya mereka menyembah Allah serta mengikhlaskan agama kepadaNya”. (Al-Bayyinah:5).
Tujuan pendidikan islam ialah menyiapkan anak-anak supaya diwaktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat sehingga tercipta kebahagiaan bersama dunia-akhirat.[5]
Perumusan ini ringkas dan pendek, tetapi isinya dalam dan luas. Supaya anak-anak cakap melaksanakan amalan akhirat mereka harus dididik, supaya beriman teguh dan beramal sholeh. Untuk pendidikan itu harus diajarkan: keimanan, akhlak, ibadat dan isi-isi Al-qur’an yang berhubungan dengan yang wajib dikerjakan dan yang haram yang mesti ditinggalkan. Supaya anak-anak cakap melaksanakan pekerjaan dunia, mereka harus dididik untuk mengerjakan salah satu dari macam-macam perusahaan, seperti bertani, berdagang, berternak, bertukang, menjadi guru, pegawai negeri, buruh (pekerja), dan sebagainya yaitu menurut bakat dan pembawaan masing-masing anak. Untuk menghasilkan semua itu anak-anak harus belajar ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pekerjaan dunia dan ilmu pengetahuan yang berhubungna dengan amalan akhirat.
Untuk menetapkan tujuan pendidikan islam itu, dibawah ini dikemukakan beberapa alasan:
1.         Firman Allah, artinya: tuntutlah kampung akhirat dengan apa-apa ynag dianugerahkan Allah kepadamu dan janganlah engkau lupakan nasib engkau dari pada dunia. Dalam ayat ini dengan tegas dinyatakan, bahwa seseorang muslim harus berani beramal untuk kampung akhirat, tetapi tidak boleh melupakan nasib “bagiaan” didunia ini. Untuk memperoleh nasib (bagian)di dunia ia harus melakukan pekerjaan dunia bukan hanya memangku tangan saja.
2.         Dalam surat Al-Baqoroh ayat 200, 201, 202 ditegaskan bahwa ada orang yang berkata: “Ya, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia.” Maka tak adalah bagian di akhirat. Dianytara mereka yang ada yang berkata: ya, tuhan kami, berilah kami kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharakanlah kami daripada azdab neraka. Untuk mereka itu bagian dari usaha mereka sendiri. Oleh sebab itu tiap-tiap orang muslim harus berusaha untuk mencapai kebaikan di dunia dan kebaikan diakhirat. Kedua alasan tersebut cukup kuat untuk menetapkan perumusan tujuan pendidikan islam tadi.
3.         Hadits Nabi SAW artinya: bukanlah yang terbaik diantara kamu orang yang meninggalkan dunia karena akhirat dan tidak pula orang yang meningalkan akhrat karena dunia. Tetapi yang terbaik adalah orang yang mengambil dari ini (dunia) dan ini (akhirat).
4.         Atsar (perkataan) sahabat, artinya: beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok harinya.
Dengan keterangan tersebut nyatalah, bahwa tujuan pendidikan islam amat dalam dan luas, ialah menghimpunkan antara kecerdasan perseorangan yang berdasarkan keagamaan dan ilmu pengetahuan dan kecakapan dalam perbuatan dan pekerjaan. Dengan perkataan lain menghimpun menghimpunkan antara ilmu pengetahuan dan amal perbuatan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.
4)      Manfaat Pendidikan Islam
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk mengenalkan Islam ini diutus Rasulullah SAW. Oleh karena itu selam kurang lebih 23 tahun Rasulullah SAW membina dan memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT. 
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman, akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang berakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”
Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.
Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tak heran bila kini pemerintah mewajibkan program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi pandai dan beradab. Pendidikan juga merupakan metode pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan.
Pendidikan dapat merubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik disebabkan pendidikan mempunyai kelebihan. Pendidikan mempunyai ciri pembentukan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan apa yang telah dipelajarinya, pengembangan atas ilmu yang diperolehnya dan agar tetap pada rel syariah. Hasil dari pendidikan Islam akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang kuat serta banyak beramal.

BAB III
PENUTUP
1)      Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan antara lain pada Konfrensi Internasional Pendidikan Islam Pertama (First World Conference on Muslim education) yang diselenggarakan oleh Universitas King Abdul Aziz, Jeddah pada tahun 1977, belum berhasil membuat rumusan yang jelas tentang definisi pendidikan menurut islam. Dalam bagian “Rekomendasi” Konfrensi tersebut para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian pendidikan menurut islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.
Dasar pndidikan islam adalah:
a)      Al-Qur’an
b)      Hadits Nabi Muhammad SAW
c)      Akal
Tujuan pendidikan islam ialah menyiapkan anak-anak supaya diwaktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat sehingga tercipta kebahagiaan bersama dunia-akhirat.
Manfaat dari pendidikan Islam yaitu akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang kuat serta banyak beramal.
2)      Penutup
Demikian makalah ini kami buat, pemakalah menyadari masih banyak kekurangan untuk itu penulis mohon saran dan kritik yang membangun terciptanya makalah yang lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca maupun pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA

Langugulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan suatu analisa psikologi dan pendidikan. Jakarta: PT Al Husna zikra, 1995.
Priatna, Tedi. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Yunus, Mahmud.  Pendidikan Dan Pengajaran. jakarta: Hidakarya Agung, 1978.




[1]) Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004. hlm.1
[2]) Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. hlm. 29-31
[3]) Ibid. hlm.22
[4]) Hasan Langugulung, Manusia dan Pendidikan suatu analisa psikologi dan pendidikan, Jakarta: PT Al Husna zikra, 1995.hlm. 147
[5]) Mahmud yunus, pendidikan dan pengajaran, jakarta: Hidakarya Agung, 1978. hlm.10

SEWA MENYEWA DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas bisa memunculkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas diantaranya ;aa
1.      Apa yang dimaksud dengan Ijarah dan Landasan Syara’?
2.      Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
3.      Apa saja sifat dan hukum Ijarah?
4.      Apa permasalahan yg kadang terjadi pada ijarah?

C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Untuk mengetahui bagaimana pengertian Ijarah dan landasannya.
2.         Untuk mengetahui Rukun dan syarat-syarat Ijarah
3.         Untuk mengetahui sifat dan hukum Ijarah.
4.         Untuk mengetahui lain hal mengenai Ijarah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijarah
Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I berpendapat ijarah berarti upah mengupah.[1] Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.[2]
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”.
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).[3] Sedangkan menurut terminologinya terdapat beberapa pendapat.
a)      Menurut Hanafiyah :[4]
Artinya : “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti “
b)      Menurut Asy-Syafiiyah[5]
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
Artinya : “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu Dan mubah , serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
c)      Menurut Malikiyah[6] Dan Hambali[7]
Artinya : Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa ( Upah- mengupah ), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa menyawa, yakni mengambil manfaat dari barang. Jumhurul ulama’ beerpendapat ijarah adalah menjual manfaat Dan yang boleh di sewakan Dan yang boleh di sewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.[8]
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.[9]
Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.[10]
B.     Landasan Syara’
Hampir semua ulama’ ahli fiqih sepakat bahwa jahrah di isyaratkan dalam islam. Ada golongan yang tidak menyepakatinya seperti Abu Bakar Al-Ashan, Ismail Ibn Aliyah, Hasan Al-Bisri, Al-Qasyani, Nahrawi Dan Ibn kaisan.
Jumhurul ulama’ berpendapat ijarah di syariatkan berdasarkan.
a)                  Al-Qur’an
Artinya : Jika mereka menyusukan ( anak-anakmu ) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya. Qs. Thala : 6
b)                  As-Sunnah
Artinya : Berilah upah pekerja sebelum keringatnya jering. Hr Ibnu Majah dari Ibn Umar
c)                  Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah di bolehkan sebab bermanfaatkan bagi manusia.[11]
C.     Rukun Ijarah
Menurul Jumhurul ulama’ rukun ijarah ada 4 ( Empat ), yaitu :
a)      Aqid ( orang yang aqad )
b)      Shighat akad
c)      Ujrah ( Upah )
d)     Manfaat
D.    Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri empat macam sebagaimana syarat dalam jual beli yaitu:
1)      Syarat terjadinya akad
      Syarat in’inqod ( terjadinya akad ) berkaitan dengan aqid, zat akad, Dan tempat akad.
2)      Syarat pelaksanaan akad ( an-nafadz )
      Agar ijarah dapat terlaksanakan, barang harus dimiliki oleh aqid, atau dia memiliki kekuasaan penuh untuk akad ( ahliyah )
3)      Syarat sah ijarah
      Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan aqid ( orang yang aqad ), ma’qud alaih ( barang yang menjadi obyek aqad ), ujrah ( upah ), Dan zat akad ( nafs al-aqad ) yaitu :
a)      Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
b)      Ma’qud alaih bermanfaat dengan jelas
c)      Maqud alaih ( Barang ) harus dapat memenuhi secara syara’
d)     Kemanfaatkan benda di bolehkan menurut syara’
e)      Tidak menyewa untuk pekerjaan yang di wajibkan ke padanya
f)       Tidak mengambil manfaat dari diri orang yang di sewa
g)      Manfaat ma’qud alaih sesuai keadaan yang umum
4)      Syarat Kelaziman
      Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal yaitu :
a)      Ma’qud Alaih ( barang sewaan ) terhindar dari cacat
b)      Tidak ada udzur yang dapat membatalkan akad
E.     Sifat dan Hukum Ijarah
1)      Sifat Ijarah
Menurut ulama’Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang di dasarkan pada firman Allah SWT yang boleh di batalkan .[12]
Sebaliknya, Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat di batalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak penemuhannya, seperti hilangnya manfaat.
Berdasarkan dua pandangan di atas, menurut ulama’ Hanafiyah, Ijarah batal dengan meninggalnya. Salah seorang yang akad Dan tidak dapat di alihkan ke pada ahli waris, adapun menurut jumhur ulama’ Ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.[13]
a)      Hukum ijarah
        Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, Dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
F.     Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi 2 ( Dua ) yaitu Ijarah terhadap benda atau sewa menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah mengupah.
1)      Hukum sewa menyewa
Di Bolehkan ijarah atas barang mubah seperti, rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi di larang ijarah terhadap benda-benda yang di haramkan.
2)      Hukum upah Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa. Biasanya berlaku dalam beberapa hal, seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, Dan lain-lain, ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi dua bagian yaitu:
Ijarah KhususIjarah Khusus adalah ijarah yang di lakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberikan upah.
a)      Ijarah  Musytarik
Ijarah Musyatarik adalah ijarah yang di lakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama hukumnya di perbolehkan bekerja sama dengan orang lain.
3)      Gugurnya Upah
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi Ajir, apabila barang yang di tangannya rusak.
Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika bekerja di tempat yang di miliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah.[14]
Pendapat ulama’ syafi’iyah tersebut senada dengan pendapat ulama’ Hambali.[15] Ulama’ Hanafiyah juga sama pendapatnya seperti pendapatnnya ulama’ Hambali.




BAB III
ANALISA
G.    Permasalannya
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit. Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memiliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik.[16]
Ø  Cara memanfaatkan barang sewa’an
a)      Sewa Rumah
      Jika seseorang menyewa rumah, di perbolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemanfaatannya, bahkan boleh di sewakan lagi atau di pinjamkan pada orang lain.
b)      Sewa Tanah
      Sewa tanah di haruskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan di tanam atau bangunan apa yang di bangun.
c)      Sewa Kendaraan
      Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus di jelaskan salah satu di antara dua hal waktu dan tempatnya. Juga harus di jelaskan barang yang akan di bawa atau benda yang akan di angkut.
d)     Perbaikan barang sewaan
      Menurut ulama’ Hanafiyah, jika barang yang di sewakan rusak seperti pintu rusak, atau dinding jebol dan lain-lainnya maka pemiliknya yang wajib memperbikinya.
e)      Kewajiban penyewa setelah habis masa sewa
      Di antara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah
ü  Menyerahkan kunci jika yang di sewakan rumah
ü  Jika yang di sewakan kendaraan, ia harus menyimpan kembali di tempat asalnya.








BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.      Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah.
2.      Rukun Ijarah Menurul Jumhurul ulama’ rukun ijarah ada 4 ( Empat ), yaitu Aqid ( orang yang aqad ), Shighat akad, Ujrah ( Upah ) dan Manfaat
3.      Syarat ijarah terdiri empat macam sebagaimana syarat dalam jual beli yaitu, Syarat terjadinya akad, Syarat pelaksanaan akad ( an-nafadz ), Syarat sah ijarah, Dan Syarat Kelaziman.
4.      Sifat Ijarah Menurut ulama’Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang di dasarkan pada firman Allah SWT yang boleh di batalkan.
5.      Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, Dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud alaih.
6.      Ijarah terbagi 2 ( Dua ) yaitu Ijarh terhadap benda atau sewa menyewa, Dan ijarah atas pekerjaan atau upah mengupah.
7.      Di Bolehkan iijarah atas barang mubah seperti, rumah, kamar, Dan lain-lain. Tetapi di larang ijarah terhadap benda-benda yang di haramkan.
8.      Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika bekerja di tempat yang di miliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebalinya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah.
Daftar Pustaka
Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash Shanai’ fi taqrib asy Shara’i, Sirkah Al-Mathbu’ahh, Mesir.
Ahmad, Idris, 1986. Fiqh al-Syafi’iyah,Jakarta: Karya Indah
Syafi’I, Rahmat, 2004. Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia
Rasjid, Sulaiman, 1994. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensind
Ibn Rusyd Al –Hafizh, Bidayah Al-Mujtahid wa An-Nihayah Al-Mustashid,
Beirud, Dar Al-Fikr.
Ibn Abidin, Radd Al- Mukhtar Ala Dur Al-Mukhtar, Al Maimunah, Mesir
Ibn Qudamah, Al-Mugni, Mathba’h Al-Imam, Mesir.
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni.
Sabiq, Sayyid, 2004. Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara















[1] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah. 1986) h. 139
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2004) h. 203
[3] Rahmat Syafi’I, Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia. 2004) h. 121
[4] Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash Shanai’ fi taqrib asy Shafii. Juz iv, hlm. 174
[5] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni, Juz 11, hal 332
[6] Syarh Al-Kabir Li Dardir, juz IV, hlm 2
[7] Ibn Qudamah, Al-Mugni, juz V, hlm.398
[8] Ibn Abidin, Radd Al- Mukhtar Ala Dur Al-Mukhtar, juz IV, hlm 110
[9] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah ……, h.203
[10] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994) h. 303
[11] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Dan Nasa’ dari said ibn Abi Waqash
[12] Ibid, juz Iv hlm. 201
[13] Ibn Rusyd, Op.Cit, juz II. hlm 328
[14] Asy-syirazo, Op Cit, juz I, hlm 409
[15] Ibn Qudamah, Op Cit, juz V, hlm 487
[16] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah ……, h.20